Pendahuluan
Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Segala puji bagi Allah, Sang Pengatur alam raya dengan sebaik-baiknya pengaturan. Dalam sesempurna-sempurnanya keadaan,¸baik secara dhahir dan bathin. Shalawat serta salam, senantiasa tercurah kepada junjungan alam, penghulu anak cucu keturunan adam, junjungan kami Sayyidina Muhammad SAW, beserta keluarga, shahabat, dan para pengikutnya sampai diakhir zaman.
Dizaman sekarang ini, banyak dari saudara-saudari muslimin yang waktunya telah banyak tersita oleh urusan duniawi, sehingga sangat sedikit waktunya yang tersedia untuk mempelajari ilmu agama, khususnya ilmu tentang fiqih. Padahal ilmu agama (fiqih) ini merupakan kewajiban yang paling terutama dipelajari bagi setiap insan muslim, karena hal ini berkaitan erat dengan kewajiban ibadah yang dilakukannya setiap saat. Sebagaimana telah sampai kepada kita tentang hadits dari Rasulullah SAW yang bermakna “Menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh muslimin (laki dan perempuan)”
Dengan didorong semangat untuk dapat berpartisipasi dalam menyampaikan sebagian kecil dari apa-apa yang telah alfaqir dapatkan dalam pelajaran fiqih khususnya tentang fiqih wanita, dan untuk memberikan kemudahan bagi muslimin muslimah lain dalam mempelajarinya, maka alfaqir merangkumnya didalam buku kecil ini sebagai pengetahuan dasar bagi saudara muslimin muslimah yang belum mengetahuinya. Pemilihan pembahasan ini dikarenakan banyaknya fenomena dimasyarakat yang kebetulan alfaqir temui tentang permasalahan wanita (haidh, nifas dan istihadhah), yang disebabkan oleh maraknya pemakaian berbagai alat kontrasepsi, obat pelancar datang bulan, ataupun program KB dengan menggunakan beragam metode seperti penggunaan Pil, penggunaan Spiral, Suntik hormon, dan lain sebagainya, sehingga mengganggu siklus bulanan mereka, dan menyebabkan berbagai permasalahan dan pertanyaan yang perlu untuk diberikan jawaban yang sesuai dengan syariat.
Adapun apa-apa yang alfaqir tuliskan disini merupakan rangkuman catatan dari pelajaran yang telah alfaqir terima dari guru kami, Al Habib Salim Syarif bin Abdulqadir Mauladawilah dalam pelajaran fiqih pembahasan dari kitab fiqih Taqrirah Assadidah, karya Al Allamah Al Habib Zain bin Ibrahim bin Zain bin Sumaith (semoga kita semua mendapatkan manfaat dari beliau), yang mana kitab tersebut merupakan salah satu karya beliau yang membahas tentang perrsoalan-persoalan Fiqih dalam pandangan madzhab Syafi’i.
Pada akhirnya, alfaqir menyadari bahwa guru kami telah memberikan bimbingan terbaiknya dan menyampaikan dengan sebaik-baik bimbingan. Namun alfaqir hanyalah manusia yang penuh dengan kekurangan, maka apabila ditemukan kesalahan ataupun kekurangan, para pembaca hendaknya dapat mengingatkan alfaqir.
Semoga Allah berkenan menjadikan usaha ini sebagai catatan amal yang ikhlas karena Allah semata, dan memberikan sebaik-baik balasan bagi guru kami, dan memberikan manfaat bagi pemahaman muslimin muslimah pada umumnya.
Perangkum
TENTANG DARAH
Hal pertama yang perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita terbagi menjadi 3 bagian, yaitu darah Haidh, darah Nifas dan darah Istihadhah. Dari ketiga bagian tersebut insyaAllah akan kita perjelas hal tersebut dalam masing-masing pembahasan.
I. HAIDH
Definisi umum darah haidh adalah darah yang keluar secara alami dari rahim bagian dalam wanita (yang normal) pada waktu-waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “Alami” disini adalah keluarnya darah tersebut tanpa sebab-sebab tertentu (contohnya kontraksi rahim pada wanita yang hendak melahirkan).
Dalil hukum haidh berasal dari QS Al Baqarah : 222, yang bermakna :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (jangan bersetubuh) diwaktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (Mandi besar). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Salah satu syarat darah haid adalah apabila darah tersebut keluar disaat seorang wanita yang telah berumur 9 tahun dalam hitungan tahun Islam (Qamariyah bukan tahun masehiyah), dengan toleransi waktu kurang dari 16 hari. Untuk lebih memahaminya perhatikan contoh berikut :
– Seorang gadis lahir pada tanggal 20 Rajab 1420 H, Kemudian pada tanggal 1 Rajab 1429 H dia melihat ada darah yang keluar dari kemaluannya, maka darah tersebut belum dapat dikatakan darah haidh karena gadis tersebut belum mencapai 9 tahun – 16 Hari.
– Namun apabila gadis tersebut melihat adanya darah yang keluar pada tanggal 10 Rajab 1429 H, meski belum genap berusia 9 tahun, darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh karena masuk dalam toleransi kurang dari 9 tahun kurang 16 hari.
I.1 MASA WAKTU
Masa waktu (lamanya) haidh dibagi menjadi 3 masa yaitu masa minimum, standard, dan maksimum.
– Masa Minimum : Haidh paling sedikit berlangsung selama 24 jam (dengan masa minimal keluar 3 jam).
– Masa Standard : Haidh pada umumnya berlangsung selama 6-8 hari.
– Masa Maksimum : Haidh dapat berlangsung selama maksimal 15 hari.
Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi’i terhadap para wanita yang ada dimasanya. Oleh karenanya, berkaitan dengan masa waktu haidh ini, apabila ditemukan adanya darah yang keluar diluar dari ketiga bagian waktu tersebut, maka darah itu dihukumi sebagai darah istihadhah (akan kita bahas pada bagian akhir rangkuman ini).
Setelah mengetahui masa waktu haidh, maka dapat diketahui bahwa masa waktu bersih dari haidh adalah :
– Masa Minimum : Masa Bersih paling sedikit berlangsung selama 15 hari.
– Masa Standard : Masa bersih pada umumnya adalah 22 – 24 Hari
– Masa Maksimum : Tidak terhingga.
I.2 SIFAT DARAH HAIDH
Darah haidh memiliki beberapa sifat, berwarna merah pekat (agak kehitaman), merah, merah agak kuning, kuning, keruh (kuning pudar), kadang memiliki bau yang tidak sedap, dan kadang keluarnya kental. Sifat darah tersebut berkaitan erat dengan masa keluarnya darah haidh itu sendiri. Pada awalnya dia akan berwarna merah pekat, sampai pada akhirnya akan berwarna keruh (kuning pudar).
Terkait dengan pembagian sifat tersebut, apabila seorang wanita masih menemukan darah yang berwarna kuning ataupun bercak-bercak kuning, maka dia belum dapat dikatakan telah suci dari haidh. Hal ini berdasarkan pada sebuah hadits riwayat Imam Bukhari ra diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang mengutus budaknya untuk datang ke tempat Sayyidah ‘Aisyah ra dengan membawa wadah berisi kapas yang masih terkotori dengan warna kuning, maka sayyidah ‘Aisyah ra berkata, jangan terburu-buru hingga kamu melihat warna putih. Hal ini berarti bahwa selesainya masa haidh seorang wanita adalah dengan tidak ditemukannya lagi cairan kuning atau keruh yang keluar dari kemaluannya. Apabila sudah demikian, maka dia dapat segera melakukan mandi janabah, dan melakukan kewajiban muslimah lainnya.
Apabila ada seorang wanita dalam keadaan hamil, tetapi mengeluarkan darah rutin sebagaimana yang biasa dialaminya pada masa sebelum kehamilannya, dan darah tersebut memenuhi syarat-syarat darah haidh, maka darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh (namun disarankan bagi wanita tersebut untuk berkonsultasi dengan dokter, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu dengan janin yang dikandungnya).
Darah haidh dapat keluar secara lancar atau secara terputus-putus. Darah yang keluar secara terputus-putus dapat dihukumi sebagai darah haidh, dengan 2 syarat utamanya yaitu :
1) Jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 1 hari (24 jam) dengan batas minimal darah keluar total 3 jam. Jika ternyata jumlah keseluruhannya tidak mencapai 3 jam dalam 1 hari, maka semua darah tersebut dihukumi darah istihadhah.
2) Tidak melebihi 15 hari. Jika darah kedua datang setelah 15 hari maka tidak lagi disebut haidh, karena waktu maksimum haidh adalah 15 hari.
Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan contoh berikut ini :
- Seorang wanita mengeluarkan darah 3 hari, kemudian bersih (ditandai dengan tidak lagi keluar cairan yang keruh dari kemaluannya) sampai dihari kesepuluh, kemudian keluar darah lagi. Darah yang terakhir keluar masih dihukumi sebagai darah haidh sampai dengan batas maksimal 15 hari.
- Seorang wanita mengeluarkan darah selama 7 hari, kemudian bersih 8 hari, kemudian keluar darah lagi di hari ke 16 selama 3 hari. Darah yang keluar dihari ke 16 tersebut tidak dapat dihukumi sebagai darah haidh, namun sebagai darah istihadhah karena telah melewati masa maksimal haidh.
- Seorang wanita mengeluarkan darah selama 10 hari, kemudian mengeluarkan darah lagi di hari ke 22 sampai dengan hari ke 30. Maka darah yang keluar dihari ke 22 sampai dengan hari ke 25 dihukumi sebagai istihadhoh, dan dari hari ke 26 sampai dengan hari ke 30 sudah dihukumi sebagai darah haidh yang baru.
Karena dihari ke 10 sudah tidak mengeluarkan darah sampai dengan hari ke 15 (masa maksimal haidh), maka dapat dipastikan bahwa haidnya sudah berhenti di hari ke 10 itu.
Sehingga mulai hari ke 11 sudah masuk dalam hitungan masa suci, dengan masa minimalnya adalah 15 hari, yaitu sampai dengan hari ke 25. Sehingga darah yang keluar sebelumnya dihukumi sebagai darah istihadhah.
Sebagai catatan bahwa seorang wanita yang dalam 6 hari melihat darah setiap harinya 3 jam saja, maka seluruh darah yang keluar dihukumi sebagai darah istihadhah.
Sebagai mana telah disebutkan diatas, bersihnya kemaluan dari cairan kuning atau keruh merupakan tanda sucinya wanita dari haidh. Cara mengetahuinya adalah dengan cara memasukkan kapas kedalam kemaluannya, dan keluarkan kemudian lihatlah apakah kapas tersebut bersih (tidak terkotori) dari bercak-bercak kuning. Tentunya tetap diperhatikan bahwa syarat awalnya apabila telah mencapai waktu minimun haidh, yaitu 24 jam (sehari semalam).
Sehingga, apabila telah melewati batas waktu minimal haidh yaitu 1 hari, dan dia melihat bersihnya kemaluan dari bercak kuning, dengan demikian maka wajiblah baginya melakukan mandi besar, melakukan shalat, puasa (dibulan puasa), dan halal bagi suaminya untuk menyetubuhinya.
Namun apabila dalam waktu dekat ditemukan kembali darah yang keluar, berarti pada hakikatnya haidnya masih berlangsung. Puasa (dibulan puasa) yang telah dilakukannya wajib di-qadha dan tidak ada dosa atas shalat yang telah dilakukannya, bacaan Al Qur’annya, atau dengan persetubuhan yang telah dilakukannya, karena hal tersebut dilakukannya atas dasar hukum lahiriah bahwa sang istri telah suci.
I. 3. SUCI ANTARA 2 HAIDH
Masa suci diantara 2 masa haidh adalah 14 hari (apabila bilangan bulannya 29 hari) atau 15 hari (jika bilangan bulannya 30 hari). Hal ini merupakan hitungan dasar, apabila waktu maksimal haidh adalah 15 hari, maka masa sucinya adalah 14 / 15 hari, karena pada keadaan normal, seorang wanita biasanya akan terus mendapatkan haidh lalu suci sepanjang waktu sampai masa menopouse. Masa suci itu pada umumnya adalah sisa bulan dari masa haidh dan tidak ada waktu maksimum untuk suci karena seorang perempuan terkadang tidak keluar haidh sama sekali atau keluar haidh hanya sekali seumur hidupnya.
Sebagaimana darah yang keluar setelah suci tetapi masih didalam masa haidh, tetap dihukumi sebagai darah haidh, maka darah yang keluar sebelum selesainya masa suci tidak dapat disebut darah haidh namun disebut sebagai darah istihadhah. Dan wanita tersebut dinyatakan sebagai perempuan yang memiliki sisa masa suci.
II. NIFAS
Sebelum membahas tentang Darah Nifas, kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa proses perkembangan bayi didalam rahim ibu setelah terjadi pembuahan antara Sel Sperma dan Sel Telur adalah segumpal darah, segumpal daging, baru menjadi janin.
Darah Nifas merupakan darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari janin (termasuk gumpalan daging atau darah jika dokter/bidan mengatakan bahwa itu adalah calon janin) akibat keguguran ataupun melahirkan (baik secara normal ataupun bedah saecar). Dengan syarat darah yang keluar tidak ada jeda suci selama 15 hari dari waktu melahirkan (hal ini akan diperjelas dalam bagian nifas yang terputus). Wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah, kemudian setelah 15 hari (dihari ke 16) ada darah keluar, maka darah tersebut tidak lagi dihukumi sebagai darah nifas, namun dihukumi sebagai darah haidh.
Dalil dalam masalah nifas adalah hadits Ummi Salamah ra, perempuan-perempuan yang nifas pada zaman Rasulullah SAW duduk (menunggu selesainya masa nifas mereka) selama 40 hari.
II.1 MASA NIFAS
Darah nifas ini juga memiliki 3 bagian masa yaitu :
– Masa Minimum : adalah walaupun sebentar saja setelah melahirkan.
– Masa Standard : adalah selama 40 hari (sesuai keadaan wanita nifas pada umumnya)
– Masa maksimum : adalah 60 hari.
Hukum nifas dimulai sejak keluarnya darah sampai dengan hitungan 60 hari, terhitung setelah melahirkan.
II.2 NIFAS YANG TERPUTUS
Darah Nifas dapat keluar secara teratur setiap harinya setelah melahirkan, atau dapat juga keluar secara terputus-putus. Khusus untuk masalah keluarnya Darah Nifas yang terputus-putus ini perlu untuk diperhatikan syarat-syaratnya sebagai berikut :
(a) Seluruh darah akan disebut nifas jika tidak melebihi 60 hari (setelah melahirkan)
(b) Masa selanya (masa tidak keluar darah) tidak mencapai 15 hari.
Sehingga, apabila ada seorang wanita yang sedang nifas kemudian mendapati dirinya bersih selama beberapa hari (caranya sama dengan ketika memeriksa bersihnya darah haidh), jika masa bersihnya mencapai 15 hari, maka darah yang kedua (setelah masa sucinya tadi) adalah darah haidh. Begitu juga kalau darah yang kedua datang setelah 60 hari.
Untuk lebih jelasnya kita perhatikan beberapa contoh kasus berikut :
1) Jika seorang wanita setelah melahirkan tidak mengeluarkan darah sampai 10 hari kemudian dihari ke 11 keluar darah selama 50 hari, maka secara hitungan dia telah menyelesaikan seluruh masa nifasnya yaitu selama 60 hari (10 hari bersih + 50 hari nifas), namun pada 10 hari pertama dia dihukumi suci dan wajib melakukan shalat dan puasa sebagaimana perempuan yang suci berdasarkan hukum lahiriah.
2) Jika seorang wanita mengeluarkan darah nifas selama 20 hari, bersih 14 hari kemudian keluar darah lagi 20 hari. Semua itu masih dihukumi nifas, karena masa selanya kurang dari 15 hari dan total keseluruhan kurang dari 60 hari dan
3) Seorang wanita mengeluarkan darah nifas 30 hari, bersih 18 hari kemudian keluar lagi darah selama 9 hari. Maka darah yang pertama dihukumi sebagai nifas, dan darah kedua dihukumi sebagai darah haidh. Karena setelah 30 hari pertama, terjadi masa suci yang menyela selama 18 hari (lebih dari syarat waktu sela 15 hari) yang menandakan bahwa masa nifas sudah selesai. Sehingga darah yang keluar setelahnya dihukumi sebagai darah haidh.
4) Seorang wanita mengeluarkan darah nifas 58 hari, kemudian suci selama 5 hari kemudan darah kembali keluar selama 10 hari. Darah yang kedua (yang keluar setelah masa suci 5 hari) dihukumi darah haidh karena keluarnya setelah melebihi waktu nifas yaitu 60 hari (58 + 5 hari = 63 hari).
Sebagaimana telah kita fahami bahwa darah yang dilihat orang hamil dihukumi haidh jika memenuhi syarat haidh, oleh karena itu tidak ada masa minimun antara haidh dan nifas. Contoh, seorang wanita hamil mengalami menstruasi 5 hari seperti kebiasaannya tiap bulan sejak sebelum hamil, kemudian darah tersebut bersambung dengan melahirkan, maka darah yang keluar setelah melahirkan adalah darah nifas dan darah yang keluar sebelum melahirkan adalah darah haidh, begitu juga darah yang keluar bersama keluarnya anak.
Perlu ditekankan bahwa jarak minimum suci antara nifas dan haidh adalah 15 hari apabila terjadi dalam kurun waktu nifas yaitu 60 hari terhitung dari setelah melahirkan (jika mengalami masa tidak mengeluarkan darah / suci, masih dalam rentangan waktu 60 hari seperti syarat kedua dalam hukum nifas yang terputus).
Adapun suci seusai 60 hari atau suci yang menyempurnakan 60 hari (seperti pada contoh nomor 4 diatas) maka tidak disyaratkan mencapai 15 hari (diluar waktu yang 60 hari, maka tidak ada batas minimal waktu suci).
III. DARAH ISTIHADHOH
Darah Istihadhoh adalah darah yang keluar dari rahim terluar wanita, selain dari darah haidh maupun darah nifas. Darah ini keluar dari bagian terluar wanita, dan disebut juga sebagai darah penyakit.
Dalil tentang darah istihadhoh ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah binti Abi Hubaisy yang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang keadaannya yang tidak kunjung suci, apakah dia meninggalkan shalat. Kemudian Rasulullah SAW menjawab tentang perbedaan warna darah haidh dan selainnya, apabila ditemukan darah tersebut bukan berwarna pekat selayaknya darah haidh, maka tetap diwajibkan baginya (dan wanita seluruhnya) berwudhu kemudia shalat.
Secara singkatnya darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita hanya ada 3 jenis yaitu Darah Haidh yang normalnya keluar secara rutin setiap bulannya, Darah Nifas yang keluar setelah melahirkan / keguguran, dan selain dari itu adalah Darah Istihadahoh.
IV. LARANGAN-LARANGAN
Adapun 11 larangan yang harus dijauhi perempuan yang haidh atau nifas, yaitu :
- Shalat
- Thawaf
- Menyentuh Mushaf (tanpa pembatas)
- Membawa Mushaf
- Berdiam diri di masjid (I’tikaf)
- Membaca Al-Qur’an
- Puasa
- Cerai
- Melewati masjid jika takut mengotori (walaupun menggunakan pembalut)
- Bersenang-senang diantara lutut dan pusar
- Bersuci untuk beribadah.
V. KEWAJIBAN WANITA SEPUTAR HAIDH DAN NIFAS
Pengetahuan mengenai haidh dan nifas adalah termasuk ilmu wajib yang harus dituntut oleh kaum wanita pada khususnya, dan kaum pria pada umumnya. Jika orang tua atau suaminya mengerti hukum mengenai haidh dan nifas maka wajib bagi mereka untuk mengajarkannya pada anak perempuannya dan istrinya. Namun jika mereka juga tidak mengerti hukum, maka :
- Sang orang tua / suami keluar mencari ilmu demi mengajarkannya ke anak istrinya. Jika tidak mampu maka
- Wajib bagi wanita tersebut harus keluar rumah untuk menuntut ilmu tersebut dari orang lain dan haram bagi orang tua atau suami untuk mencegah.
Mengapa haram bagi orang tua atau suami mencegah wanita tersebut ? Karena ini adalah bagian dari ilmu syariah yang berkaitan langsung dengan kewajiban ibadah seorang hamba kepada Sang Khaliq.
Sudah selayaknya sebagai seorang wanita (khususnya) wajib mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah kewanitaan ini. Karena hal ini erat sekali hubungannya dengan sah atau tidaknya kewajiban ibadah. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kaum wanita khususnya dan bagi kaum pria yang sudah beristri maupun memiliki anak perempuan untuk mengajarkan langsung kepada mereka, karena dapat menyelamatkan kehormatan rumah tangganya.
Washallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wasalam
DAFTAR PUSTAKA
Tulisan ini dirangkum oleh al faqir dari :
- Pelajaran Fiqh Habib Salim Syarif bin Abdulqadir Maula Dawilah dalam pelajaran pembahasan kitab Fiqih Taqrirah Assadidah.
- Majalah Cahaya Nabawi, edisi 49 Th. V shafar 1428 H / Maret 2007 M hal 68 -71.
- Kupas Tuntas Haidh, Nifas & Istihadhoh, Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdulqodir Assagaf, Ponpes Dar Ummahatil Mukminin, Juni 2010
Tinggalkan komentar