Feeds:
Pos
Komentar

Archive for the ‘Kitab Fiqih’ Category

PUASA

Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu dari Rukun Islam. Barang siapa yang tidak mau melaksanakannya (mengingkarinya) padahal telah datang pengetahuan kepadanya tentang kewajiban tersebut, maka dikhawatirkan dia telah keluar dari Islam. Atau didalam hatinya mulai terdapat benih-benih kekafiran yang nyata (Naudzubillahi min dzalik).

Dalil wajibnya puasa dibulan Ramadhan telah ditetapkan oleh Allah didalam AlQur’an Surat Al Baqarah (2) ayat 183


yang bermakna “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Syarat-syarat wajibnya puasa :
1. Islam
2. Baligh (Dewasa)
3. Berakal
4. Mampu berpuasa

Syarat-syarat sahnya puasa :
1. Islam : Tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
2. Akal : Tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
3. Tamyiz : tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang baik dengan yang buruk).
4. Tidak haid : tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya.
5. Tidak nifas : tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas.
6. Niat : dari malam hari untuk setiap hari dalam puasa wajib.

Fardhu-fardhu puasa :
1. Niat
2. Tidak makan dan minum
3. Tidak bersenggama
4. Tidak muntah dengan sengaja.

Sunnah puasa ada 6, yaitu :
1. Mengakhirkan waktu sahur sampai akhir waktu malam.
2. Segera berbuka ketika mengetahui dengan pasti sudah masuk waktu berbuka.
3. Memperbanyak amalan sunnah dan amaliah kebaikan lain.
4. Meninggalkan perkataan keji.
5. Berdoa ketika berbuka. Hal ini menunjukkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah Allah berikan
6. Berbuka dengan kurma segar, jika tidak ada dengan kurma kering sebanyak 3 buah atau bilangan ganjil.

Hal-hal yang membatalkan puasa :
1. Makan dan minum dengan sengaja
2. Berhubungan badan (senggama)
3. Memasukkan sesuatu kedalam jauf yaitu bagian tubuh selain kepala, tangan dan kaki.
4. Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena sebab-sebab disengaja.
5. Keluarnya darah haid atau nifas
6. Muntah dengan sengaja.
7. Gila dan Murtad (keluar dari Islam)

Udzur untuk tidak berpuasa Ramadhan
1. Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang yang bepergian sebelum waktu fajar (lebih dari 82 km), tapi wajib menggodha’nya. Namun jika mereka berpuasa itu lebih baik. *
2. Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan wajib mengqodho’. Jika berpuasa, maka tidak sah puasanya.*
3. Wanita hamil dan wanita menyusui ada 2 ketentuan yaitu :
– Jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qodha’ serta memberi makan 1 Mud (6,25 s/d 7 ons) kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya.
– Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja.
4. Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan mengganti dengan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Sedangkan jumlah makanan yang diberikan yaitu 1 mud (6,25 – 7 ons).

* QS Al Baqarah : 184 -185

Read Full Post »

Assalamulaikum Wr.Wb,

Bismillaahir rahmaanir rahiim,
“Alhamdu lillaahil ladzii ja’alanaa minan naashihiina, wa afhamanaa min ‘uluumil ‘ulamaa-irraasikhiina, wash shalaatu was-salaamu ‘alaa man nasakha diinuhu adyaanal kafarati waththaalihiina, wa ‘alaa aalihi wa ashhaabihil ladziina kaanuu bitamas-suki syarii’athihi shalihiina. “

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang,
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan kita termasuk para penasihat, dan yang telah memberi kepahaman kepada kita dari berbagai ilmu para ‘ulama yang ahli, dan mudah-mudahan shalawat serta salam tetap dilimpahkan kepada (Nabi Besar Muhammad) yang agamanya menghapuskan agama-agama orang kafir dan orang yang jahat, dan semoga shalawat dan salam juga dilimpahkan kepada keluarga dan para shabatnya yang baik yang selalu berpegang dengan syari’atnya”.

Wahai saudara-saudariku yang dicintai Allah Swt. disini saya sebagai hamba yang faqir dan dhaif ingin memberikan sedikit pengetahuan yang mungkin tidak seberapa dengan ilmu saudara-saudari ketahui/miliki. Disini saya bukan menggurui tetapi sekedar membagi sedikit pengetahuan untuk menambah ilmu bagi yang belum mengetahui dan menambah keyakinan kita dalam beramal untuk mencapai ridha Allah Swt. bagi yang sudah mengetahui.

Didalam penulisan saya kali ini saya akan menuliskan tentang Fiqih Zakat Fitrah yang saya salin/ambil dari salah satu tulisan shahabat saya yaitu Habib Shulfi bin Abu Nawar Alaydrus, atas pelajaran kami dari pembahasan kitab salah satu guru/ulama yaitu Al-Habib Ahmad bin Novel bin Salim bin Jindan Ibni As-Syeikh Abi Bakar bin Salim Sahibul-Inat, yang diberi judul “MUTIARA YANG INDAH DALAM FIQIH ZAKAT FITRAH”

Berikut ini adalah rangkuman yang singkat tentang perihal Zakat Fitrah yang dikarang beliau (Al-Habib Ahman bin Novel bin Jindan). Rangkuman ini beliau rangkum dari berbagai sumber yang mu’tamad di dalam mazhab Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Ra., seperti kitab Minhaj karya Al-Imam Nawawi Al-Banteni, Mughnil Muhtaj karya Al-Imam Muhammad Al-Khatib As-Syirbini, Tuhfah karya Ibni Hajar, Nihayah karya As-Syeikh Ramli, Fathul Mu’in, Hasyiyah Al-Baijury, Fathul ‘Allam, Bulughul Maram, Ibanatul Ahkam, Bughyatul Mustarsyidin, dsb. Agar mudah difahami oleh masyarakat awam dan khususnya panitia-panitia zakat. Harapan beliau kepada Allah agar
menjadikan rangkuman ini didasari keikhlasan karena-Nya, menjadi wasilah untuk dekat kepada-Nya, penyebab untuk masuk kedalam Syurga-Nya yang penuh kenikmatan dan menjadikannya bermanfaat untuk umat Islam khususnya dibumi tercinta Indonesia.

(Penulis: Amin Yaa Allahul Mujibul Karim Ya Robbal Alamin semoga Allah mengabulkan niat baiknya Al-Habib Ahmad bin Jindan begitu pula kita semoga mendapat Ridha, Rahmat, Ampunan dan Surganya Allah Swt, bagi yang mengamalkan syari’at-Nya secara benar yang sesuai Petunjuk-Nya. Amiin.)

Dalil Wajib Berzakat

Para pembaca yang dimuliakan oleh Allah..! Sesungguhnya Zakat merupakan salah satu pondasi dari agama Islam. Allah Swt. telah berfirman di dalam Al-Qur’an:

“Wa ‘aqiimuush-shalaaata Wa ‘atu’uz-zakaata Wa maa tuqaddimuu anfusiqum min khairiin tajiduuhu ‘indallaha. Innallaaha bimaa ta’maluuna bashiirun. “
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, Dan kebaikan apapun yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”. (Al-qur’an: 2:110)

Rasulullah Saww., juga telah bersabda tentang perihal Zakat didalam hadist yang sangat banyak sekali, diantaranya:

“Buniyal islaamu alaa khamsin syahaadati anlaa ilaaha illallaahu wa anna muhammadar rasuulullah wa iqaamish-shalaati wa ‘itaaiz-zakaati wa hajjil bayti wa shaumi ramadhaana.”
“Islam berdiri di atas lima pondasi: 1. Bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan (Nabi) Muhammad utusan Allah. 2. Mendirikan Shalat. 3. Mengeluarkan Zakat. 4. Haji ke Baitullah. 5. Puasa dibulan Ramadhan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan didalam hadist lain Rasulullah Saww., juga bersabda:

“Man kaana Jyu’minu billaah wal yaumil akhiri fal yu’addi zakaata maalihi. “
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaknya menunaikan zakat hartanya”. (HR. At-Tabrani)

Dan diantara kewajiban seseorang muslim dan muslimah yang sangat penting adalah menunaikan Zakat Fitrah. Karena sesungguhnya puasa itu tergantung diantara langit dan bumi dan sesungguhnya tidak akan terangkat melainkan dengan Zakat Fitrah (Busral Karim Hal 447). Sebagaimana tersebut di dalam hadist yang bersumber dari pemimpin manusia yaitu Rasulullah Saww.

Di dalam hadist yang lain Rasulullah Saww., bersabda:

“Zaakatul fithri thuhratush-shaa’imi minar-rafatsi wa thu’matun lifuqaraa’i wal masaakiini. “
“Zakat Fitrah merupakan penyucian bagi orang yang berpuasa dari kekurangan dan makanan bagi orang faqir dan miskin”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dan sebagaimana seorang muslim diwajibkan oleh Allah untuk menunaikan Zakat Fitrah, ia juga diwajibkan untuk mempelajari bagaimana cara menunaikan Zakat Fitrah yang benar. Rasulullah Saww., bersabda:

“Thalabul ilmi fariidhatun alaa kulli muslimin wal muslimatin. “
“Menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah”.
Karena di dalam menunaikan Zakat terdapat persyaratan, waktu yang tepat, tempat penyaluran, dan hukum-hukum lainnya yang sangat penting untuk dipelajari agar kewajiban menunaikan Zakat Fitrah dapat berlangsung dengan sah dan benar sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah Saww..

Di bawah ini adalah persyaratan, dan hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah Zakat Fitrah.

Syarat Wajib Berzakat Fitrah

Syarat wajib berzakat fitrah ada 3 (Kitab Fathul Qarib pada bab Zakat Fitrah):
1. Islam
2. Menjumpai akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal. Dan titik temu saat-saat tersebut adalah pada saat terbenam matahari hari terakhir bulan Ramadhan. Sehingga apabila seseorang meninggal setelah terbenam matahari akhir bulan Ramadhan, atau bayi dilahirkan sebelum terbenam matahari bulan Ramadhan maka telah wajib atas mereka Zakat Fitrah.
3. Memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal pada hari raya dan malamnya untuk dirinya dan untuk orang-orang yang wajib ia nafkahi.

Apabila seseorang telah memenuhi tiga syarat di atas maka ia diwajibkan untuk menunaikan Zakat Fitrah. Walaupun dilain sisi ia seorang Mustahik (Orang yang berhak menerima Zakat). Dan sebagaimana ia wajib menunaikan Zakat Fitrah atas dirinya, ia juga diwajibkan menunaikan Zakat Fitrah atas orang-orang yang ia wajib nafkahi.

Adapun orang-orang yang wajib ia nafkahi adalah sebagai berikut (Kitab Fathul Qarib bab Nafaqah):
1. Orang tua kandung yang faqir
2. Anak kandung yang belum baligh dan faqir
3. Istri

Perhatikan :
Anak kandung yang kaya atau sudah baligh dan mampu bekerja wajib menunaikan Zakat Fitrah atas dirinya sendiri. Dan apabila orang tua atau orang lain ingin menunaikan Zakat Fitrah atas diri anak (belum mampu berzakat) tersebut, maka harus ada ijin (Tawkil) dari anak tersebut.(Fathul ‘Allam Jilid 3 hal 309, Taqriraus Sadidah hal 420, I’anatut Thalibin Jilid 2 hal 193,

dan lafadz Tawkil izin adalah sebagai berikut:
“Wa kultuka fii ikhraaji zakaatil fithri an nafsi. “
Aku wakilkan engkau untuk menunaikan Zakat Fitrah atas diriku)

Bentuk Yang Dikeluarkan Dari Zakat Fitrah

Apabila seseorang telah memenuhi tiga syarat wajib berzakat Fitrah diatas, maka yang wajib ia keluarkan adalah 3 1/2 (tiga setengah) Liter bahan makanan pokok masing-masing daerah. dan dalil tersebut adalah yang disabdakan oleh Rasulullah Saww., didalam hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibni Umar ra.:

“Faradha Rasuulullah alaihi wa salam zakaatal fithri min ramadhaan alaan naasi shaa-an min tamrin au shaa-an min sya-iirin alaa kulli hurrin au ‘abdin dzakarin au unsya minal-muslimiina. “
“Rasulullah Saww. telah mewajibkan Zakat Fitra dibulan Ramadhan kepada orang-orang. yaitu Sha’ (kurang lebih tiga setengah liter) Kurma atau Sha'(kurang lebih tiga setengah liter) Gandum kepada setiap yang merdeka atau hamba sahaya. laki-laki atau perempuan dari kaum muslimin”.

Maka dari hadist Sahih di atas tidak dibenarkan mengeluarkan Zakat Fitrah dalam bentuk uang sebagaimana yang terjadi di masyarakat kita dewasa ini.
(Kitab Fathul Mu’in Jilid 2 Hal 197, I’anatut Thalibin Jilid 2 Hal 197 disebutkan sebagai berikut: “Tidak sah berzakat dengan qimah (uang) sebagai ganti dari tiga setengah Liter Fitrah, sebagaimana yang disepakati seluruh ulama mazhab kami (Madzab A-Syafi’i)”.
Fathul ‘Allam Jilid 3 Hal 302)

Solusi :
1. Hendaknya panitia Zakat menyiapkan bahan makanan pokok (yang dalam hal ini adalah beras), sehingga setiap orang yang akan berzakat dengan uang disarankan membeli beras yang telah disediakan dengan uang yang mereka bawa untuk berzakat, kemudian berniat.
2. Hendaknya panitia memberikan pengarahan kepada mereka yang datang membawa uang agar ketika mereka menyerahkan uang kepada panitia untuk mewakilkan panitia membeli beras dan menyerahkannya kepada mustahik (orang yang berhak), dan mereka berniat.

Waktu Menunaikan Zakat Fitrah

Zakat Fitrah boleh ditunaikan sejak masuknya bulan Ramadhan. Akan tetapi saat yang paling tepat dan afdhal adalah antara terbit fajar hari raya sampai shalat ‘Idul Fitri. adapun menunaikannya setelah shalat ‘Idul Fitri sampai terbenam matahari hari raya hukumnya makruh. Dan apabila menunaikannya setelah terbenam matahari hari raya maka hukumnya haram, dan Zakat Fitrah tetap wajib ia tunaikan. (Kitab Busyral Karim Hal 454)

“Innamaash-shadaqatu lil-fuqaraa’i wal masakiini wal amiliina alaihaa wal mu’allafati quluubuhum wa fii ar-riqaabi wal garimiina wa fii sabiilillaahi wa abnis-sabiili fariidhatam-minallaahi wallaahu aliimun hajiim. “
Sesungguhnya Zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang faqir, orang-orang miskin, amil-amil Zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan ketetapan dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Al-Qur’an 9:60)

1. Faqir: Adalah orang yang tidak memiliki harta atau pekerjaan sama sekali, atau memiliki harta/pekerjaan yang tidak dapat menutupi setengah dari kebutuhannya. (Kitab Al-Minhaj Hal 201)

2. Miskin: Adalah orang yang memiliki harta/pekerjaan yang hanya dapat menutupi diatas setengah dari kebutuhannya (Kitab Al-Minhaj Hal 201). Adapun yang dimaksud dengan kebutuhan yang tersebut di atas adalah kebutuhan primer yang sederhana (Kitab Fathul ‘Allam Jilid 3 Hal 328).
Sehingga apabila harta/pekerjaannya tidak dapat menutupi setengah dari kebutuhan primernya yang sederhana, maka ia tergolong faqir. dan apabila dapat menutupi diatas setengah kebutuhan primernya yang sederhana maka ia tergolong miskin.

3.Amil: Adalah orang yang dilantik secara resmi oleh pemerintah untuk mengelola Zakat (Kitab Fathul Mu’in Jilid 2 Hal 215). – Dan amil hanya berhak menerima Zakat apabila tidak mendapat gaji/upah dari pemerintah. Adapun apabila mereka menerima gaji/upah dari pemerintah, maka mereka tidak berhak menerima Zakat. Dan yang berhak mereka terima dari Zakat hanyalah sekedar upah yang wajar (Kitab Fathul ‘Allam Jilid 3 Hal 334, Kitab Busyral Karim Hal 463, Kitab I’anatut Thalibin Jilid 2 Hal 215).

– Adapun sebagian besar panitia Zakat yang ada di masjid/mushalla dsb sebagaimana yang ada di masyarakat, mereka bukanlah Amil yang dimaksud oleh Syari’ah, karena mereka tidak dilantik secara resmi oleh pemerintah akan tetapi status mereka hanyalah wakil/perantara dari pemilik Zakat (Disini timbul suatu pertanyaan “Bagaimana memberikan upah kepada panitia yang telah rela melayani masyarakat untuk mengelola Zakat?”. Kami memberikan solusi agar upah untuk panitia tidak diambil dari Zakat karena mereka bukanlah Amil yang dimaksud oleh Syariat. Akan tetapi upah untuk mereka dapat di ambil dari hasil penjualan beras sebagaimana telah dibahas diatas, atau dari hasil infaq dan shadaqah).

4. Muallaf: Seseorang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. Atau seorang tokoh masyarakat yang masuk Islam yang imannya kuat yang dengan diberikan kepadanya Zakat diharap keislaman orang-orang yang setaraf dengannya (Kitab Al-Minhaj Hal 201).

5. Fir Riqob: Adalah Budak yang mempunyai akad dengan majikannya bahwa dirinya akan merdeka apabila ia mampu melunasi kepada majikannya jumlah yang disepakati (Kitab Al-Minhaj Hal 201).

6. Gharim: Adalah seorang yang berhutang bukan untuk ma’siat (Kitab Al-Minhaj Hal 201).

7. Fisabilillah: Orang yang berperang di jalan Allah melawan orang kafir tanpa digaji oleh pemerintah (Kitab Al-Minhaj Hal 201, Kitab Fathul Mu’in Jilid 2 Hal 219, Kitab Fathul ‘Allam Jilid 3 Hal 338, Kitab Busyral Karim Hal 464).

– Adapun Kiayi, Ustad, Guru, Masjid/Mushalla, pesantren, madrasah dsb, mereka bukanlah yang dimaksud dengan kata “Fi Sabilillah” di dalam ayat. Sehingga mereka tidak diperbolehkan menerima Zakat. Sebab tidak ada seorangpun dari ahli tafsir yang menafsirkan kata “Fi Sabilillah” dengan Ulama, Kiayi, Ustad, Masjid/Mushalla dsb, akan tetapi sebaliknya secara jelas mereka menafsirkan kata “Fi Sabilillah” dengan orang yang berperang dijalan Allah. Bahkan di dalam Hadist yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dan Al-Hakim yang juga disahihkan olehnya Nabi Muhammad Saww., secara jelas menyebutkan bahwa “Fi Sabilillah” Adalah orang yang berperang dijalan Allah. Au gaazin fii sabilillah “Atau orang yang berperang di jalan Allah”.

8. Ibnu Sabil: Orang yang musafir atau orang yang memulai safar (perjalanan) yang tidak memiliki bekal untuk sampai ketujuan (Kitab Al-Minhaj Hal 201).

Penutup

Diwajibkan bagi yang menunaikan Zakat untuk berniat. Adapun niat Zakat Fitrah yang diniatkan apabila atas dirinya sendiri adalah sebagai berikut:

“Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An Nafsii”
-Ini adalah Zakat Fitrah yang fardhu atas diriku-

Atau apabila atas istrinya ia niatkan sebagai berikut:

“Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An Zaujatii “
Ini adalah Zakat Fitrah yang fardhu atas istriku

Atau apabila atas anaknya ia niatkan sebagai berikut:

“Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An Waladii…. “
Ini adalah Zakat Fitrah yang fardhu atas anakku (disebut namanya)

Atau apabila atas orang yang ia wakili, ia niatkan sebagai berikut:

“Hadzihi Zakaatul Fithril Mafruudhatu An Fulaan…. “
Ini adalah Zakat Fitrah yang fardhu atas Fulan (disebut namanya)

Demikian pula halnya dengan niat Zakat Maal. Ia niatkan sebagai berikut:

“Hadzihi Zakaatul maalii Mafruudhatu An Nafsi “
Ini adalah Zakat Maalku yang fardhu atas diriku

Demikianlah apa yang kami rangkum secara singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat dijadikan pedoman oleh kaum muslimin khususnya panitia-panitia Zakat.

Washallallaahu Alaa Sayyidina Muhammadin Wa Alaa Alihi Wa Shahbihi Wattaabi-iina Lahum Bi’ihsaanin Ilaa Yaumiddiini Walhamdulillahi Rabbil Aalamiin.

Huwallaahu A’lam Bisawab

Wassalam……

Read Full Post »

Pendahuluan

Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Segala puji bagi Allah, Sang Pengatur alam raya dengan sebaik-baiknya pengaturan. Dalam sesempurna-sempurnanya keadaan,¸baik secara dhahir dan bathin. Shalawat serta salam, senantiasa tercurah kepada junjungan alam, penghulu anak cucu keturunan adam, junjungan kami Sayyidina Muhammad SAW, beserta keluarga, shahabat, dan para pengikutnya sampai diakhir zaman.

Dizaman sekarang ini, banyak dari saudara-saudari muslimin yang waktunya telah banyak tersita oleh urusan duniawi, sehingga sangat sedikit waktunya yang tersedia untuk mempelajari ilmu agama, khususnya ilmu tentang fiqih. Padahal ilmu agama (fiqih) ini merupakan kewajiban yang paling terutama dipelajari bagi setiap insan muslim, karena hal ini berkaitan erat dengan kewajiban ibadah yang dilakukannya setiap saat. Sebagaimana telah sampai kepada kita tentang hadits dari Rasulullah SAW yang bermakna “Menuntut ilmu adalah wajib bagi seluruh muslimin (laki dan perempuan)”

Dengan didorong semangat untuk dapat berpartisipasi dalam menyampaikan sebagian kecil dari apa-apa yang telah alfaqir dapatkan dalam pelajaran fiqih khususnya tentang fiqih wanita, dan untuk memberikan kemudahan bagi muslimin muslimah lain dalam mempelajarinya, maka alfaqir merangkumnya didalam buku kecil ini sebagai pengetahuan dasar bagi saudara muslimin muslimah yang belum mengetahuinya. Pemilihan pembahasan ini dikarenakan banyaknya fenomena dimasyarakat yang kebetulan alfaqir temui tentang permasalahan wanita (haidh, nifas dan istihadhah), yang disebabkan oleh maraknya pemakaian berbagai alat kontrasepsi, obat pelancar datang bulan, ataupun program KB dengan menggunakan beragam metode seperti penggunaan Pil, penggunaan Spiral, Suntik hormon, dan lain sebagainya, sehingga mengganggu siklus bulanan mereka, dan menyebabkan berbagai permasalahan dan pertanyaan yang perlu untuk diberikan jawaban yang sesuai dengan syariat.

Adapun apa-apa yang alfaqir tuliskan disini merupakan rangkuman catatan dari pelajaran yang telah alfaqir terima dari guru kami, Al Habib Salim Syarif bin Abdulqadir Mauladawilah dalam pelajaran fiqih pembahasan dari kitab fiqih Taqrirah Assadidah, karya Al Allamah Al Habib Zain bin Ibrahim bin Zain bin Sumaith (semoga kita semua mendapatkan manfaat dari beliau), yang mana kitab tersebut merupakan salah satu karya beliau yang membahas tentang perrsoalan-persoalan Fiqih dalam pandangan madzhab Syafi’i.

Pada akhirnya, alfaqir menyadari bahwa guru kami telah memberikan bimbingan terbaiknya dan menyampaikan dengan sebaik-baik bimbingan. Namun alfaqir hanyalah manusia yang penuh dengan kekurangan, maka apabila ditemukan kesalahan ataupun kekurangan, para pembaca hendaknya dapat mengingatkan alfaqir.

Semoga Allah berkenan menjadikan usaha ini sebagai catatan amal yang ikhlas karena Allah semata, dan memberikan sebaik-baik balasan bagi guru kami, dan memberikan manfaat bagi pemahaman muslimin muslimah pada umumnya.

Perangkum

TENTANG DARAH

Hal pertama yang perlu diketahui bahwa darah yang keluar dari kemaluan wanita terbagi menjadi 3 bagian, yaitu darah Haidh, darah Nifas dan darah Istihadhah. Dari ketiga bagian tersebut insyaAllah akan kita perjelas hal tersebut dalam masing-masing pembahasan.

I.  HAIDH

Definisi umum darah haidh adalah darah yang keluar secara alami dari rahim bagian dalam wanita (yang normal) pada waktu-waktu tertentu. Yang dimaksud dengan “Alami” disini adalah keluarnya darah tersebut tanpa sebab-sebab tertentu (contohnya kontraksi rahim pada wanita yang hendak melahirkan).

Dalil hukum haidh berasal dari QS Al Baqarah : 222, yang bermakna :

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah ‘Haidh itu adalah suatu kotoran’. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita (jangan bersetubuh) diwaktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (Mandi besar). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Salah satu syarat darah haid adalah apabila darah tersebut keluar disaat seorang wanita yang telah berumur 9 tahun dalam hitungan tahun Islam (Qamariyah bukan tahun masehiyah), dengan toleransi waktu kurang dari 16 hari. Untuk lebih memahaminya perhatikan contoh berikut :

–          Seorang gadis lahir pada tanggal 20 Rajab 1420 H, Kemudian pada tanggal 1 Rajab 1429 H dia melihat ada darah yang keluar dari kemaluannya, maka darah tersebut belum dapat dikatakan darah haidh karena gadis tersebut belum mencapai 9 tahun – 16 Hari.

–          Namun apabila gadis tersebut melihat adanya darah yang keluar pada tanggal 10 Rajab 1429 H, meski belum genap berusia 9 tahun, darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh karena masuk dalam toleransi kurang dari 9 tahun kurang 16 hari.

I.1  MASA WAKTU

Masa waktu (lamanya) haidh dibagi menjadi 3 masa yaitu masa minimum, standard, dan maksimum.

–          Masa Minimum : Haidh paling sedikit berlangsung selama 24 jam (dengan masa minimal keluar 3 jam).

–          Masa Standard : Haidh pada umumnya berlangsung selama 6-8 hari.

–          Masa Maksimum : Haidh dapat berlangsung selama maksimal 15 hari.

Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Imam Syafi’i  terhadap para wanita yang ada dimasanya. Oleh karenanya, berkaitan dengan masa waktu haidh ini, apabila ditemukan adanya darah yang keluar diluar dari  ketiga bagian waktu tersebut, maka darah itu dihukumi sebagai darah istihadhah (akan kita bahas pada bagian akhir rangkuman ini).

Setelah mengetahui masa waktu haidh, maka dapat diketahui bahwa masa waktu bersih dari haidh adalah :

–          Masa Minimum : Masa Bersih paling sedikit berlangsung selama 15 hari.

–          Masa Standard : Masa bersih pada umumnya adalah 22 – 24 Hari

–          Masa Maksimum : Tidak terhingga.

I.2 SIFAT DARAH HAIDH

Darah haidh memiliki beberapa sifat, berwarna merah pekat (agak kehitaman), merah, merah agak kuning, kuning, keruh (kuning pudar), kadang memiliki bau yang tidak sedap, dan kadang keluarnya kental. Sifat darah tersebut berkaitan erat dengan masa keluarnya darah haidh itu sendiri. Pada awalnya dia akan berwarna merah pekat, sampai pada akhirnya akan berwarna keruh (kuning pudar).

Terkait dengan pembagian sifat tersebut, apabila seorang wanita masih menemukan darah yang berwarna kuning ataupun bercak-bercak kuning, maka dia belum dapat dikatakan telah suci dari haidh. Hal ini berdasarkan pada sebuah hadits riwayat Imam Bukhari ra diriwayatkan bahwa ada seorang perempuan yang mengutus budaknya untuk datang ke tempat Sayyidah ‘Aisyah ra dengan membawa wadah berisi kapas yang masih terkotori dengan warna kuning, maka sayyidah ‘Aisyah ra berkata, jangan terburu-buru hingga kamu melihat warna putih. Hal ini berarti bahwa selesainya masa haidh seorang wanita adalah dengan tidak ditemukannya lagi cairan kuning atau keruh yang keluar dari kemaluannya. Apabila sudah demikian, maka dia dapat segera melakukan mandi janabah, dan melakukan kewajiban muslimah lainnya.

Apabila ada seorang wanita dalam keadaan hamil, tetapi mengeluarkan darah rutin sebagaimana yang biasa dialaminya pada masa sebelum kehamilannya, dan darah tersebut memenuhi syarat-syarat darah haidh, maka darah tersebut tetap dihukumi sebagai darah haidh (namun disarankan bagi wanita tersebut untuk berkonsultasi dengan dokter, karena dikhawatirkan terjadi sesuatu dengan janin yang dikandungnya).

Darah haidh dapat keluar secara lancar atau secara terputus-putus. Darah yang keluar secara terputus-putus dapat dihukumi sebagai darah haidh, dengan 2 syarat utamanya yaitu :

1)      Jumlah keseluruhannya tidak kurang dari 1 hari (24 jam) dengan batas minimal darah keluar total 3 jam. Jika ternyata jumlah keseluruhannya tidak mencapai 3 jam dalam 1 hari, maka semua darah tersebut dihukumi darah istihadhah.

2)      Tidak melebihi 15 hari. Jika darah kedua datang setelah 15 hari maka tidak lagi disebut haidh, karena waktu maksimum haidh adalah 15 hari.

Untuk lebih jelasnya mari kita perhatikan contoh berikut ini :

  1. Seorang wanita mengeluarkan darah 3 hari, kemudian bersih (ditandai dengan tidak lagi keluar cairan yang keruh dari kemaluannya) sampai dihari kesepuluh, kemudian keluar darah lagi. Darah yang terakhir keluar masih dihukumi sebagai darah haidh sampai dengan batas maksimal 15 hari.
  1. Seorang wanita mengeluarkan darah selama 7 hari, kemudian bersih 8 hari, kemudian keluar darah lagi di hari ke 16 selama 3 hari. Darah yang keluar dihari ke 16 tersebut tidak dapat dihukumi sebagai darah haidh, namun sebagai darah istihadhah karena telah melewati masa maksimal haidh.
  1. Seorang wanita mengeluarkan darah selama 10 hari, kemudian mengeluarkan darah lagi di hari ke 22 sampai dengan hari ke 30. Maka darah yang keluar dihari ke 22 sampai dengan hari ke 25 dihukumi sebagai istihadhoh, dan dari hari ke 26 sampai dengan hari ke 30 sudah dihukumi sebagai darah haidh yang baru.

Karena dihari ke 10 sudah tidak mengeluarkan darah sampai dengan hari ke 15 (masa maksimal haidh), maka dapat dipastikan bahwa haidnya sudah berhenti di hari ke 10 itu.

Sehingga mulai hari ke 11 sudah masuk dalam hitungan masa suci, dengan masa minimalnya adalah 15 hari, yaitu sampai dengan hari ke 25. Sehingga darah yang keluar sebelumnya dihukumi sebagai darah istihadhah.

Sebagai catatan bahwa seorang wanita yang dalam 6 hari melihat darah setiap harinya 3 jam saja, maka seluruh darah yang keluar dihukumi sebagai darah istihadhah.

Sebagai mana telah disebutkan diatas, bersihnya kemaluan dari cairan kuning atau keruh merupakan tanda sucinya wanita dari haidh. Cara mengetahuinya adalah dengan cara memasukkan kapas kedalam kemaluannya, dan keluarkan kemudian lihatlah apakah kapas tersebut bersih (tidak terkotori) dari bercak-bercak kuning. Tentunya tetap diperhatikan bahwa syarat awalnya apabila telah mencapai waktu minimun haidh, yaitu 24 jam (sehari semalam).

Sehingga, apabila telah melewati batas waktu minimal haidh yaitu 1 hari, dan dia melihat bersihnya kemaluan dari bercak kuning, dengan demikian maka wajiblah baginya melakukan mandi besar, melakukan shalat, puasa (dibulan puasa), dan halal bagi suaminya untuk menyetubuhinya.

Namun apabila dalam waktu dekat ditemukan kembali darah yang keluar, berarti pada hakikatnya haidnya masih berlangsung. Puasa (dibulan puasa) yang telah dilakukannya wajib di-qadha dan tidak ada dosa atas shalat yang telah dilakukannya, bacaan Al Qur’annya, atau dengan persetubuhan yang telah dilakukannya, karena hal tersebut dilakukannya atas dasar hukum lahiriah bahwa sang istri telah suci.

I. 3. SUCI ANTARA 2 HAIDH

Masa suci diantara 2 masa haidh adalah 14 hari (apabila bilangan bulannya 29 hari) atau 15 hari (jika bilangan bulannya 30 hari). Hal ini merupakan hitungan dasar, apabila waktu maksimal haidh adalah 15 hari, maka masa sucinya adalah 14 / 15 hari, karena pada keadaan normal, seorang wanita biasanya akan terus mendapatkan haidh lalu suci sepanjang waktu sampai masa menopouse. Masa suci itu pada umumnya adalah sisa bulan dari masa haidh dan tidak ada waktu maksimum untuk suci karena seorang perempuan terkadang tidak keluar haidh sama sekali atau keluar haidh hanya sekali seumur hidupnya.

Sebagaimana darah yang keluar setelah suci tetapi masih didalam masa haidh, tetap dihukumi sebagai darah haidh, maka darah yang keluar sebelum selesainya masa suci tidak dapat disebut darah haidh namun disebut sebagai darah istihadhah. Dan wanita tersebut dinyatakan sebagai perempuan yang memiliki sisa masa suci.

II. NIFAS

Sebelum membahas tentang Darah Nifas, kita perlu mengetahui terlebih dahulu bahwa proses perkembangan bayi didalam rahim ibu setelah terjadi pembuahan antara Sel Sperma dan Sel Telur adalah segumpal darah, segumpal daging, baru menjadi janin.

Darah Nifas merupakan darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari janin  (termasuk gumpalan daging atau darah jika dokter/bidan mengatakan bahwa itu adalah calon janin) akibat keguguran ataupun melahirkan (baik secara normal ataupun bedah saecar). Dengan syarat darah yang keluar tidak ada jeda suci selama 15 hari dari waktu melahirkan (hal ini akan diperjelas dalam bagian nifas yang terputus). Wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah, kemudian setelah 15 hari (dihari ke 16) ada darah keluar, maka darah tersebut tidak lagi dihukumi sebagai darah nifas, namun dihukumi sebagai darah haidh.

Dalil dalam masalah nifas adalah hadits Ummi Salamah ra, perempuan-perempuan yang nifas pada zaman Rasulullah SAW duduk (menunggu selesainya masa nifas mereka) selama 40 hari.

II.1 MASA NIFAS

Darah nifas ini juga memiliki 3 bagian masa yaitu :

–          Masa Minimum :   adalah walaupun sebentar saja setelah melahirkan.

–          Masa Standard : adalah selama 40 hari (sesuai keadaan wanita nifas pada umumnya)

–          Masa maksimum : adalah 60 hari.

Hukum nifas dimulai sejak keluarnya darah sampai dengan hitungan 60 hari, terhitung setelah melahirkan.

 

II.2 NIFAS YANG TERPUTUS

Darah Nifas dapat keluar secara teratur setiap harinya setelah melahirkan, atau dapat juga keluar secara terputus-putus. Khusus untuk masalah keluarnya Darah Nifas yang terputus-putus ini perlu untuk diperhatikan syarat-syaratnya sebagai berikut :

(a)    Seluruh darah akan disebut nifas jika tidak melebihi 60 hari (setelah melahirkan)

(b)   Masa selanya (masa tidak keluar darah) tidak mencapai 15 hari.

Sehingga, apabila ada seorang wanita yang sedang nifas kemudian mendapati dirinya bersih selama beberapa hari (caranya sama dengan ketika memeriksa bersihnya darah haidh), jika masa bersihnya mencapai 15 hari, maka darah yang kedua (setelah masa sucinya tadi) adalah darah haidh. Begitu juga kalau darah yang kedua datang setelah 60 hari.

Untuk lebih jelasnya kita perhatikan beberapa contoh kasus berikut :

1)                 Jika seorang wanita setelah melahirkan tidak mengeluarkan darah sampai 10 hari kemudian dihari ke 11 keluar darah selama 50 hari, maka secara hitungan dia telah menyelesaikan seluruh masa nifasnya yaitu selama 60 hari (10 hari bersih + 50 hari nifas), namun pada 10 hari pertama dia dihukumi suci dan wajib melakukan shalat dan puasa sebagaimana perempuan yang suci berdasarkan hukum lahiriah.

2)                 Jika seorang wanita mengeluarkan darah nifas selama 20 hari, bersih 14 hari kemudian keluar darah lagi 20 hari. Semua itu masih dihukumi nifas, karena masa selanya kurang dari 15 hari dan total keseluruhan kurang dari 60 hari  dan

3)            Seorang wanita mengeluarkan darah nifas 30 hari, bersih 18 hari kemudian keluar lagi darah selama 9 hari. Maka darah yang pertama dihukumi sebagai nifas, dan darah kedua dihukumi sebagai darah haidh. Karena setelah 30 hari pertama, terjadi masa suci yang menyela selama 18 hari (lebih dari syarat waktu sela 15 hari) yang menandakan bahwa masa nifas sudah selesai. Sehingga darah yang keluar setelahnya dihukumi sebagai darah haidh.

4)            Seorang wanita mengeluarkan darah nifas 58 hari, kemudian suci selama 5 hari kemudan darah kembali keluar selama 10 hari. Darah yang kedua (yang keluar setelah masa suci 5 hari) dihukumi darah haidh karena keluarnya setelah melebihi waktu nifas yaitu 60 hari (58 + 5 hari = 63 hari).

Sebagaimana telah kita fahami bahwa darah yang dilihat orang hamil dihukumi haidh jika memenuhi syarat haidh, oleh karena itu tidak ada masa minimun antara haidh dan nifas. Contoh, seorang wanita hamil mengalami menstruasi 5 hari seperti kebiasaannya tiap bulan sejak sebelum hamil, kemudian darah tersebut bersambung dengan melahirkan, maka darah yang keluar setelah melahirkan adalah darah nifas dan darah yang keluar sebelum melahirkan adalah darah haidh, begitu juga darah yang keluar bersama keluarnya anak.

Perlu ditekankan bahwa jarak minimum suci antara nifas dan haidh adalah 15 hari apabila terjadi dalam kurun waktu nifas yaitu 60 hari terhitung dari setelah melahirkan (jika mengalami masa tidak mengeluarkan darah / suci, masih dalam rentangan waktu 60 hari seperti syarat kedua dalam hukum nifas yang terputus).

Adapun suci seusai 60 hari atau suci yang menyempurnakan 60 hari (seperti pada contoh nomor 4 diatas) maka tidak disyaratkan mencapai 15 hari (diluar waktu yang 60 hari, maka tidak ada batas minimal waktu suci).

III. DARAH ISTIHADHOH

Darah Istihadhoh adalah darah yang keluar dari rahim terluar wanita, selain dari darah haidh maupun darah nifas. Darah ini keluar dari bagian terluar wanita, dan disebut juga sebagai darah penyakit.

Dalil tentang darah istihadhoh ini berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah binti Abi Hubaisy yang menanyakan kepada Rasulullah SAW tentang keadaannya yang tidak kunjung suci, apakah dia meninggalkan shalat. Kemudian Rasulullah SAW menjawab tentang perbedaan warna darah haidh dan selainnya, apabila ditemukan darah tersebut bukan berwarna pekat selayaknya darah haidh, maka tetap diwajibkan baginya (dan wanita seluruhnya) berwudhu kemudia shalat.

Secara singkatnya darah yang keluar dari kemaluan seorang wanita hanya ada 3 jenis yaitu Darah Haidh yang normalnya keluar secara rutin setiap bulannya, Darah Nifas yang keluar setelah melahirkan / keguguran, dan selain dari itu adalah Darah Istihadahoh.

 

IV. LARANGAN-LARANGAN

Adapun 11 larangan yang harus dijauhi perempuan yang haidh atau nifas, yaitu :

  1. Shalat
  2. Thawaf
  3. Menyentuh Mushaf (tanpa pembatas)
  4. Membawa Mushaf
  5. Berdiam diri di masjid (I’tikaf)
  6. Membaca Al-Qur’an
  7. Puasa
  8. Cerai
  9. Melewati masjid jika takut mengotori (walaupun menggunakan pembalut)
  10. Bersenang-senang diantara lutut dan pusar
  11. Bersuci untuk beribadah.

 

V. KEWAJIBAN WANITA SEPUTAR HAIDH DAN NIFAS

Pengetahuan mengenai haidh dan nifas adalah termasuk ilmu wajib yang harus dituntut  oleh kaum wanita pada khususnya, dan kaum pria pada umumnya. Jika orang tua atau suaminya mengerti hukum mengenai haidh dan nifas maka wajib bagi mereka untuk mengajarkannya pada anak perempuannya dan istrinya. Namun jika mereka juga tidak mengerti hukum, maka :

  1. Sang orang tua / suami keluar mencari ilmu demi mengajarkannya ke anak istrinya. Jika tidak mampu maka
  2. Wajib bagi wanita tersebut harus keluar rumah untuk menuntut ilmu tersebut dari orang lain dan haram bagi orang tua atau suami untuk mencegah.

Mengapa haram bagi orang tua atau suami mencegah wanita tersebut ? Karena ini adalah bagian dari ilmu syariah yang berkaitan langsung dengan kewajiban ibadah seorang hamba kepada Sang Khaliq.

Sudah selayaknya sebagai seorang wanita (khususnya) wajib mengerti tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah kewanitaan ini. Karena hal ini erat sekali hubungannya dengan sah atau tidaknya kewajiban ibadah. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kaum wanita khususnya dan bagi kaum pria yang sudah beristri maupun memiliki anak perempuan untuk mengajarkan langsung kepada mereka, karena dapat menyelamatkan kehormatan rumah tangganya.

Washallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala alihi wasalam

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Tulisan ini dirangkum oleh al faqir dari :

  1. Pelajaran Fiqh Habib Salim Syarif bin Abdulqadir Maula Dawilah dalam pelajaran pembahasan kitab Fiqih Taqrirah Assadidah.
  2. Majalah Cahaya Nabawi, edisi 49 Th. V shafar 1428 H / Maret 2007 M hal 68 -71.
  3. Kupas Tuntas Haidh, Nifas & Istihadhoh, Sayyid Abdurrahman bin Abdullah bin Abdulqodir Assagaf, Ponpes Dar Ummahatil Mukminin, Juni 2010

Read Full Post »